Logo

Bahasa  English     
     

JUGUN IANFU





Troosmeisjes cover




Artikel: Mendrobak kebisuanuze

‘Saya pengen wajah saya jelek, karena yang terlihat jelek Jepang nggak mau. Mereka  dipulangkan. Saya harus tinggal… Saya dipilih terus.  Sesudah tamu yang satu pulang ada lagi, datang lagi. Giliran.’

Emah berumur 15 tahun pada waktu dia dengan paksa dibawa dari rumah oleh tentara Jepang. Ada kawan senasib yang lebih mudah lagi. Mereka dipanggil ‘jugun ianfu’ atau ‘wanita penghibur’. Mereka adalah perempuan dan gadis Indonesia yang usia muda, korban kerjapaksa seksual pada zaman Perang Dunia Kedua. Perempuan yang dulu masih muda, sekarang nenek-nenek. Rasa malu, stigma dan perasaan bersalah menyebabkan mereka selama puluhan tahun membisu pengalamanya zaman perang. Perempuan yang dipotret dalam pameran ‘Jugun Ianfu’ menemukan keberanian untuk membuka masa kelabuhan.  Masih banyak yang tetap tinggal diam.

Para Tentara Jepang menganggap mengatur prostitusi untuk diri-sendiri pada bordil militer sebagai tindakan pragmatis demi tercegahnya penularan penyakit-penyakit kelamin dan pemerkosaan secara luas. Demi argumentasi ini kira-kira 200.000 perempuan dari wilayah Asia yang dijajak oleh Jepang dipaksa masuk prostitusi, diantaranya 20.000 perempuan di Indonesia. Ribuan perempuan lain dipaksa memberi pelayanan seksual sebagai gundik atau pekerja paksa.
Tabunya adalah kokoh, mengalami fotografer Jan Banning dan wartawati Hilde Janssen. Mereka keliling archipelago Indonesia untuk mengdokumentasi sejarah dari para mantan jugun ianfu dalam kata dan gambar. Sebelum terlambat.

Para mantan jugun ianfu yang masih hidup semakin kecil dan jarang ingin membuka luka yang lama. Upaya-upaya sebelumnya untuk menguntut rehabilitasi internasional setelah kebisuan setengah abad di Indonesia malah ditolak oleh pemerintah sendiri. Pesannya singkat para nenek-nenek: Tidak pantas membuka aib. Banyak perempuan sampai sekarang masih tetap mencoba menyembunyikan keterjadiaan terhadap para keluarga dan tetangga. Tidak selalu berhasil. Di kampung kecil semua tahu siapa-siapa ‘bekas jepang’. Tapi apa yang terjadi persisnya, mereka jarang berani bertanya. Para perempuan sendiri tidak mendapat menghilangkan jejak-jejak sejarah, tapi menjadi beban untuk seumur hidup: penghinaan dan perasaan sedih, kehilangan anak akibat kemandulan dan perceraian. Perempuan yang Banning bisa memotret menuntut pengakuan dan rehabilitasi. Mereka mencegah lingkaran setan kebisuan dan impunitas, karena mereka inggin menyelamatkan anak-cucu mereka menjadi korban kekerasaan seksual. Ini semua menjadi sumber kekuatan untuk mengatasi kemaluan, angkat muka dan menghadapi dunia luar.

Dalam setiap konflik bersenjata berskala besar, perempuan menjadi korban kekerasan seksual. Pada umumnya, hal ini dirahasiakan – oleh para korban, para pelaku kejahatan dan para pemimpin pemerintahan. Kokohnya tabu dihadapi Jan Banning dan Hilde Janssen pada waktu mereka mulai mencari para Jugun Ianfu atau ’wanita penghibur’,  perempuan yang dipaksa memberi pelayanan seks kepada balatentara Jepang selama Perang Dunia II. Saat itu mereka masih gadis muda, kini mereka telah menjadi nenek nenek. Rasa malu, stigma dan rasa bersalah telah membuat mereka selama puluhan tahun tetap membisukan pengalaman masa perang mereka. Para perempuan  yang ditampilkan dalam pameran ini, memiliki keberanian untuk berbagi masa lalu mereka yang terpendam. Kebanyakan yang lain tetap tinggal membisu. Konspirasi kebisuan ini menguntungkan bagi pihak yang bersalah. Mereka pada umumnya tidak pernah harus menghadapi akibat dari perbuatan mereka, bahkan sampai hari ini. Di tahun 2008, Perserikatan Bangsa Bangsa menyetujui resolusi nomor 1820, yang dimaksudkan untuk selamanya mencegah para pelanggar seperti itu dapat bebas begitu saja. Resolusi tersebut mengutuk penggunaan kekerasan seksual secara sistematis sebagai suatu alat berperang dalam konflik bersenjata. Sekarang dunia tidak dapat lagi menutup matanya.


top